When you want something, all the Universe conspires in helping you to achieve it - Paulo Coelho, The Alchemist

Rabu, 26 September 2012

Shilla In Past 2


Tiba – tiba saja Adit muncul didepan Vian yang masih terlihat kusut.
“Adit..??” Ucap Vian dengan mata melotot tajam pada Adit.
“Gue ada urusan sama lo. SEKARANG!”
Adit memaksa Vian untuk ikut dengannya. Vian yang berontak, malah semakin dipaksa Adit. Adit terus saja menarik tangan Vian. Kashilla yang melihat kejadian tersebut langsung menarik tangan Adit dan mendorong Adit dengan sekuat tenaga. Terjadi tari menarik disini. Adit menarik tangan Vian, Shilla menarik tangan Adit.
Cakra pun bangkit dari duduk dan mendorong Adit pelan. Sejurus mata Adit melirik Cakra yang sudah memasang raut wajah yang tidak enak pada Adit.
“Oke. Fine..” Adit mengangkat kedua tangannya dan memilih untuk pergi. Entah hal apa yang membuat Adit menyerah dan pasrah ketika dirinya dihadapkan langsung dengan Kakak Kelasnya, Cakra.
“Lo ga apa – apa kan??” Tanya Shilla sembari mengecek
sekujur tubuh Vian. Setelah itu, Shilla memeluk Vian erat. Vian dan Shilla adalah sahabat yang sulit terpisah. Persahabatan yang sering diwarnai pertengkaran dari hal kecil hingga hal besar selalu membuat mereka baikan hanya dengan pelukan hangat.
###
Angin malam berhembus pelan membawa rumput – rumput menari perlahan dan saling menyapu. Langit yang cukup gelap dengan sedikit lampu yang bergantungan di sisi – sisi gubuk kecil yang ada di sisi sebelah kanan bukit. Tampak Shilla sedang terbaring dengan mata terpejam.
Menikmati angin malam yang berhembus menusuk ke sekujur tubuhnya. Merasakan setiap desahan angin yang lewat membawanya merasakan kesunyian malam. Benar benar sepi. Benar benar sunyi.
Setetes air mata mengalir begitu saja dari sisi mata kiri Shilla yang sedang terpejam. Air mata yang tampaknya alami dan mengandung sejuta kerinduan pada seseorang. Kedua tangan Shilla saling mendekap silang didepan dada untuk menjaga dirinya dari kedinginan malam.
“Aku kangen... aku rindu... ini semua salah gue....” Lirihnya pelan.
“AAAAHHHHH......!!!”
Sebuah teriakan terdengar kencang ditelinga Shilla. Hal ini membuatnya membuka mata dan melirik ke sekitarnya. Shilla pun bangkit terduduk diatas rumput hijau yang sedikit basah akibat embun malam. Dirinya pun memakai kembali jaketnya dan menutup kepalanya dengan penutup kepala yang merupakan setelan dari jaket putih miliknya.
“Sorry buat lo kaget” Ucap seseorang mendekati Shilla dan duduk disebelahnya.
Shilla hanya diam tanpa membalas sepatah katapun. Dirinya seperti mengenal suara yang tidak asing tersebut. Ya, itu suara Adit. Musuh bebuyutannya di sekolah. Entah hal apa yang membuat Adit naik ke atas bukit dibelakang sekolah. Tempat sesunyi ini membuat hampir semua siswa jarang untuk naik bukit di malam hari. Bukan hampir, tapi hanya Shilla yang setiap hari hadir dibukit yang masih jarang terjamah siswa – siswa lain.
“Disini ga ada larangan untuk berteriak. Kamu bisa berteriak sesuka hati kamu” Ucap Shilla kemudian setelah suasana hening sejenak. Adit tampak tidak mengenal Shilla yang berpakaian jaket dengan penutup kepala. Kebakuan bahasa Shilla juga berbeda. Jika di sekolah, Shilla lebih sering menggunakan Lo-Gue. Hal ini membuat Adit tidak curiga sedikitpun.
“Oh ya?? Kalau gitu, gue bakal berteriak lagi” Kata Adit tersenyu. Dirinya bangkit dari duduk dan mendekatkan kedua tangannya disamping pipinya.
“AAAHHHHH!!! AAAAAHHHHH!!!!” teriak Adit sekencang – kencangnya. Gema pun berkumandang berulang mengikuti setiap teriakan Adit.
“Ini anak lagi gila??” Batin Shilla. Dirinya merasa Adit seorang yang kurang kerjaan sehingga membuat suaranya dengan sia – sia.
Malam itu lewat begitu saja. Acara Shilla untuk bersedih ditemani angin dikacaukan dengan teriakan – teriakan Adit yang sungguh tidak ada tujuan yang jelas.
###
Dikelas XI IS-2, ulangan tengah berlangsung ketat. Dimana Ibu Asya, guru wanita yang cukup ketat mengawasi ulangan membuat seluruh siswa – siswi tak berkutik. Termasuk juga Adit. Dirinya hanya pasrah ketika dirinya tidak mampu membuka suara untuk meminta jawaban pada Shilla yang duduk didepannya. Suara Adit sedikit parau ketika berteriak beberapa jam diatas bukit semalam.
“SSSuutttt! SSStTTtt...” Dengan suit – suitan, Adit menendang bangku Shilla pelan. Shilla yang meras terganggu pun menoreh ke Adit dengan kode mata agar Adit tidak mengganggunya yang sedang berkonsentrasi.
“Adit.. Shilla!”
Bu Asya seperti memilik 6 mata. Dua mata asli, dua lensa kacamata berada didepan dan dua mata lagi ada dibelakang. Ibu Asya yang tadinya sedang melihat siswa – siswi lain didepan pun berbalik kebelakang menghampiri Shilla dan Adit.
“Ehm.. Bu, Adit.. dia yang manggil saya bu” Shilla buru – buru memberi penjelasan sebelum dirinya dihakimi Bu Asya.
“Engga bu.. suara saya serak. Jadi berdehem bentar. Nih Shilla yang pengen nyontek ulangan saya. Makanya balik – balik kebelakang” Adit juga memberi penjelasan dengan sedikit berbohong.
“Orang yang meminta jawaban itu salah. Dan yang lebih salah, orang yang mau menggubris orang yang sudah jelas – jelas salah” Bu Asya menarik kedua lembar kertas jawaban Shilla dan Adit. Dengn berkacak pinggang dan membenarkan posisi kacamatanya, Bu Asya menatap sinis pada keduanya.
“Jam Istirahat nanti, kalian sapu daun – daun kerin yang berguguran di taman belakang sekolah. Setelah pulang sekolah, kalian harus ke kantor saya untuk kerjakan kembali test ini” Jelas Bu Asya.
Ketidak berdayaan Shilla dan Adit tampak jelas ketika keduanya saling menatap tidak senang.
“Awas aja lo” Gumam Adit.
“Sempat aja lo kerjain gue, gue bongkar kalau lo itu kena penyakit gila. Teriak – teriak ga jelas dibukit kemarin” Ucap Shilla dalam hati.
###
Jam istirahat sekolah berbunyi, seluruh siswa tampak riuh memadati seluruh sudut sekolah. Termasuk juga Vian. Dirinya sedang sibuk dalam kerumunan penjual balon. Ada seorang yang menjual berbagai jenis dan pola balon gas dengan warna yang menarik.
Tampak sebuah balon putih dengan gambar dua orang gadis yang tengah berpelukan erat. Dalam benak Vian, Shilla adalah sosok sahabat yang selalu menemaninya dalam keadaan apapun.
Dengan wajah gembira setelah selesai membeli balon gas tersebut, Vian berlari mencari Shilla. Dirinya terus saja melirik kanan, kiri dan sekitarnya untuk mencari dimana Shilla.
“Shilla!!” Teriak Vian memanggil Shilla yang sedang menyapu daun – daun kering.
Bukan menyapu. Tapi beradu sapu dengan Adit. Keduanya sibuk berperang dengan sapu. Adit mendorong kumpulan daun – daun kering untuk mengotori tempat Shilla yang sudah bersih. Dan juga sebaliknya. Vian hanya menggeleng melihat aksi mereka berdua.
“Vian” Shilla membuang sapunya ke Adit dan menghampiri Vian.
“Ini buat lo. Balon gas persahabatan buat kamu dari gue” Ucap Vian senang. Dengan segera, Vian melepas balon yang ada ditangannya pada Shilla. Keterlambatan dua detik, Shilla tak mampu menerima balon yang diberi Vian.
Balon  gas tersebut terbang., jauh dari jangkauan Vian dan Shilla. Balon putih yang mewakili perasaan Vian sebagai seorang sahabat pu tersangkut di pohon yang cukup tinggi menyamai tinggi lantai 3 sekolah mereka.
“Yahhh!!” Shilla tampak kecewa kehilangan balon tersebut. Sementara Adit tertawa cekikikan melihat wajah Shilla yang garing dan terlihat lebay menurutnya.
“Lo ga ikhlas banget! Ga suka liat gue sama Vian temenan??” Shilla pun nyolot pada Adit.
“Cakra turun!!” Teriak Bu Asya yang keluar dari sebuah ruangan ketika melihat ada Cakra berdiri diatas genteng sekolah tepatnya lantai dua.
“Cakra??” Shilla dan Vian melirik ke arah lantai dua. Begitu juga Adit yang tertawa pun berhenti melihat sosok Cakra yang menurutnya sok jadi pahlawan.
“Turun kamu!!” Teriak Pak Andri yang juga keluar Cuma untuk meneriaki Cakra.
Suasana sekolah menjadi agak heboh dipagi itu. Pasalnya, untuk mengambil balon gas yang tersangkut itu, Cakra tidak memakai alat apapun dan bukan naik dari lantai tiga, tetapi Cakra naik melalui lantai dua dan kemudian memanjat tembok untuk sampai kelantai tiga.
“Cakra!! Turun!!” Teriak Shilla yang mulai panik ketika Cakra naik ketembok menuju lantai tiga tanpa alat apapun.
“Bentar Shill. Gue akan ambil balon itu untu kamu!!” Sahut Cakra dari atas. Langkah demi selangkah, Cakra berhasil naik kelantai tiga. Dengan berpegangan pada tiang platform, tangan kiri Cakra berusaha meraih balon gas yang tersangkut di ranting pohon. Karena cukup jauh, Cakra berusaha untuk mendekatkan tubuhnya kepohon besar tersebut.
Sesekali, Cakra kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Teriakan –teriakan dari Shilla, Vian, Pak Andri dan Bu Asya pun dihiraukan Cakra. Setelah berhasil meraih balon tersebut. Dengan tertawa puas, Cakra berlari kebawah dari lantai tiga menuju taman sekolah hanya untuk bertemu dengan Shilla.
“Shilla... ini untuk kamu” Cakra dengan nafas tak beraturan menyerahkan balon gas putih tersebut pada Shilla. Dengan tangan yang masih gemetar Shilla terlihat sulit untuk menerima balon gas tersebut.
“Aku ga mau gara – gara aku, aku harus kehilangan Cakra” Ucap Shilla dalam hati secara berulang. Rasa takut terus terngiang dikepalanya.
Cakra pun menggenggam erat tangan Shilla untuk berhenti takut dan berhenti gemetar.
“Aku sayang kamu” Ucap Cakra sembari menempatkan balon gas tersebut ditangan Shilla.
Tepuk tangan pun datang dari beberapa siswa. Hal ini membuat Adit sedikit males dan memilih untuk pergi.
“Cakra! Kamu harus ikut saya ke kantor kepala sekolah untuk aksi nekat kamu ini!” Ucap Pak Andri yang kemudian pergi meninggalkan keramaian.
“Aku ga apa – apa kok” Bisik Cakra yang berjalan mengikuti Pak Andri.
“Vi.. kalau tadi.. kalau.. Cakra jatuh gimana??”
“Alah Shill. Harusnya lo seneng punya cowo kaya Cakra. Rela berbuat apapun buat elo. Jangan lo sia – siakan deh” Ucap Vian sembari menyelipkan petuah pada Shilla. Sejurus kemudian Vian pun melangkah pergi dan tinggal Shilla sendiri.
“Lebay tau ga kisah cinta dan persahabatan lo. Pake ngasih balon. Kaya anak kecil” Ledek Adit sembari melempar pelan sapu yang dipegangnya ke Shilla.
Shilla pun melotot tajam pada Adit.
“Kalau lo ga punya temen ataupun sahabat, mending lo diam. Karena lo ga akan tau betapa berartinya seorang sahabat. Ga hanya waktu lo suka. Tapi diwaktu lo terpuruk!” Ucap Shilla yang kemudian melanjutkan hukumannya membersihkan daun – daun kering yang bertebaran.
###
Seperti malam – malam sebelumnya, Kashilla duduk diatas rumput hijau di bukit belakang sekolah. Duduk menyendiri dan memikirkan hal – hal yang masih terus melintas dipikirannya selama bertahun – tahun. Malam itu bukan malam yang indah. Tidak ada bintang dan bahkan bulan pun tidak datang menyapa. Yang ada hanyalah langit gelap seakan hujan sedang menuju perjalanan untuk membasahi tempat dimana Shilla berada. Angin kencang terus berhembus sepoi.
Dengan kedua tangan melingkar didepan lutut dan kepala tertunduk diatasnya. Shilla hanya terdiam membisu. Terdengar suara jangkrik yang menghiasi malam kelam. Tiba – tiba saja Blackberry Shilla berbunyi. Tersadar akan adanya BBM masuk, Shilla merogoh BB-nya di saku baju kemeja yang dikenakannya dibalik jaket putih yang dipakainya kemarin.
Cakra Nugraha - Availlable Shill, kamu dimana? Lagi ngapain??
Shilla memejamkan matanya sejenak dan berpikir jawaban apa yang akan diberikannya pada Cakra. Mengangguk perlahan, Kashilla pun mulai mengetikan sesuatu di tombol Blackberry-nya.
Kashilla Zaputri - Busy Gue lagi di bukit. Jangan ganggu gue...
Setelah membalas, Shilla pun menempatkan kembali BB-nya dibalik jaket putihnya. Terdengar jelas suara tapak kaki seseorang semakin mendekat. Shilla pun memakai kempali cadar jaket ke kepalanya untuk menghangatkan dirinya.
Seseorang tersebut terus mengusap dan menggesekan berulang kedua tangannya dengan tujuan untuk menghangatkan.
“Boleh gue duduk disini?” Tanya Adit basa – basi yang ternyata sudah mengambil duduk disebelah Shilla.
“Kalau udah duduk duluan, ga perlu  bilang ke aku juga” Ucap Shilla pelan disertai Adit yang tertawa pelan.
“Gue bisa teriak lagi?”
“Kemarin kan aku udah bilang. Disini ga ada larangan buat engga berteriak”
“Tapi kali ini gue males teriak. Buat apa gue berteriak untuk orang – orang yang ga peduli dengan adanya gue” Kata Adit sambil menengadahkan kepalanya untuk melihat langit.
“Kayanya mau hujan. Ngapain lo disini? Sendirian cewe lagi” Tanya Adit kemudian.
“Siapa bilang ga ada yang peduli sama kamu?” Shilla pun bertanya pada Adit yang sibuk dengan pandangannya ke langit malam.
“Banyak. Temen – temen gue. Mereka ga ada yang peduli sama gue..” Lirih Adit.
“Mungkin karena sikap kamu yang buat mereka kesal dan sebal sama kamu?”
“Lo ga tau. Dan menurut gue, lo ga akan pernah tau kalau semua orang itu ga peduli sama gue. Cuma bokap nyokap gue aja yang peduli sama gue”
“Aku peduli sama kamu...”
Adit pun berpaling dari langit dan menatap Shilla bingung.
“Iya.. kalau aku ga peduli sama kamu, kenapa aku ijinkan kamu duduk disamping aku?”
Adit pun menggariskan senyum pada Shilla.
“Kita belum kenalan. Gue Adit... lo? Siapa??” Tanya Adit sembari menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Shilla.
“Kamu bisa panggil aku apa aja” Jawab Shilla yang menerima salaman tangan Adit.
“Putri Bukit. Gue panggil lo putri bukit gimana??” Tanya Adit. Hujan gerimis pun jatuh membasahi pipi Adit. Setetes.. dua tetes.. dan hujan pun datang tanpa permisi.
Adit dan Shilla pun terburu untuk berdiri dan mencari perlindungan untuk berteduh. Setelah melirik ke kanan dan kiri, tidak ada tempat berlindung dari hujan. Bukit luas yang hanya ada rumput – rumput dan gubuk kecil yang sudah tak beratap membuat mereka panik. Lampu – lampu sekitar bukit pun mati. Suara petir dan halilintar yang menghias kejam dilangit membuat Shilla ketakutan dan berteriak kencang.
“Aahhhh... engga.. aku engga mau.. aku... semua aku yang salah..” Shilla histeris dan jongkok di atas kebasahan.
Adit yang kaget pun segera memeluk erat Shilla.
“Lo kenapa? Putri... lo...?”
Shilla pun mendorong Adit untuk melepaskan pelukannya. Dalam hujan yang semakin deras, Shilla berlari pergi menerobos hujan dan meninggalkan Adit sendirian.
“Putri!!! Putri Bukit!!!” Adit berteriak sekenanya. Mencoba untuk mengejar, Adit malah tersungkur jatuh karena gelap gulitanya bukit dimalam itu.
“Putri...!”


Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar